Implementasi Pembatasan BBM Diperkirakan Gagal
JAKARTA--MI: Rencana pemerintah untuk melakukan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium dan solar dengan penggunaan kartu pintar (smart card) diperkirakan berbagai kalangan akan menemui banyak halangan alias gagal dalam pelaksanaan.
Sikap itu dinyatakan mulai dari kalangan DPR hingga pengamat. Dari DPR, anggota Komisi VII Alvin Lie berpendapat sistem distribusi tertutup lewat kartu pintar bisa menimbulkan kekacauan. Sebab distribusi di lapangan diperkirakan akan jauh dari apa yang diharapkan.
"Ini keputusan buru-buru karena sebelumnya pemerintah sudah terlanjur mengambil langkah popularitas dengan mengatakan bahwa hingga 2009 harga BBM tidak akan naik. Dan itu dilakukan tanpa mengukur kemampuan APBN," jelas Alvin di Jakarta, Minggu (10/2).
Alvin juga mengimbau agar pemerintah menimbang apakah investasi komputerisasi on line untuk membaca smart card sudah sepadan dengan penghematan yang akan didapat. "BPH Migas seharusnya bisa melakukan sensus untuk mendapatkan data yang akurat dimana dan siapa saja yang akan mendapatkan jatah BBM bersubsidi. Selain itu perlu ada eksperimen dalam lingkup kecil dulu. Jangan seperti konversi minyak tanah ke elpiji yang carut marut dan terkesan banyak penyimpangan," urainya.
Sedangkan Sekjen Komite Indonesia untuk Penghematan dan Pengawasan Energi (Kipper) Sofyano Zakaria meminta pemerintah untuk mempertimbangkan dampak sosial politik dari pembatasan Premium dan Solar.
"Jangan hanya melihat bahwa gagasan ini bisa menghemat subsidi BBM saja tapi harus dilihat ongkos sosial politik yang akan ditimbulkannya," katanya.
Apalagi, lanjut dia, konsep pengurangan subsidi BBM dengan menggunakan kartu pintar yang disodorkan kepada pemerintah belum teruji secara akurat hingga saat ini.
"Saat ini perlu disepakati bahwa mobil mewah tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi, namun harus ada justifikasi secara
jelas. Artinya, pemerintah tidak perlu ragu untuk mengeluarkan kebijakan terhadap kendaraan mewah itu, tapi harus didukung dengan Peraturan Presiden (Perpres) yang melarangnya," imbuhnya.
Sementara pengamat yang juga Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rachmanto juga mengaku pesimis dengan rencana pembatasan Premium dan Solar ini. Menurutnya, kebijakan ini tak lebih dari kebijakan membuang-buang uang, bukan menghemat subsidi.
"Kalau lihat dari BPHnya saja, mereka belum siap, tidak punya jaringan. Apalagi, mekanisme ini memerlukan biaya yang mahal. Jadi, saya tidak mengerti rencana ini akan menguntungkan siapa nantinya," ujarnya.
Ia berpendapat, ketimbang penggunaan smart card yang belum jelas keefektifannya, lebih baik pemerintah serius mengurusi rencana pendistribusian minyak tanah dengan mekanisme tertutup.
"Kalau program ini saja berhasil, saya rasa subsidi sudah akan bisa ditekan hingga Rp10 triliun," jelasnya. (Eva/OL-06)
sumber : media Indonesia
Komentar :
Posting Komentar